Ah lagi-lagi soal anggaran: politik vs pendidikan

Belum lama kejadian DAU Kaltim akan dipotong, sekarang muncul lagi beberapa masalah baru. Ada lapangan olah raga milik para wakil rakyat akan dibangun dengan dana 16 sekian milyar, dan pemilihan gubernur yang mencapai 270-an milyar. Angka milyar rupiah sepertinya bukan barang aneh di Indonesia. Para pejabat menganut sistem tawar, pasang harga sangat tinggi, ditawar 50% saja sudah semangat, mungkin...
Lalu apa masalahnya ? Prioritas.
Melirik Universitas yang didirikan sekitar 40 tahun silam di Kalimantan Timur, hingga saat ini tidak memiliki perpustakaan sendiri, tidak memiliki akses ke dunia luar dengan memadai, dan lebih menyakitkan lagi, tidak memiliki laboratorium yang representatif untuk melakukan penelitian. Apabila uang 16 M itu dilimpahkan, sebenarnya sudah bisa menghidupi 4 laboratorium Unmul dan 1 perpustakaan pusat untuk kurun 3 tahun. Apalagi kalau yang 270an M itu.
Ah, memang masalah pendidikan sering kali dilupakan, dianggap apabila sudah cukup menghasilkan lulusan, maka kebutuhan sudah terpenuhi. Tidak perlu mendengar keluhan para pengajar yang harus bawa peralatan mengajar sendiri, cuti diluar tanggungan untuk bekerja karena butuh dana untuk sekolah putra-putrinya.
Semalam beberapa rekan bercerita, bertemu dengan para tokoh politik (in fact senator dan gubernur) yang berpakaian kasual, mendorong kereta bayi anak-cucu, bercengkrama di park, menegur sapa orang sebelum rakyatnya menegur. Sungguh-sungguh low profile. Dampaknya, hatinya semakin terbuka dan perasa terhadap apa yang diperlukan.
Kembali ke pendidikan, satu dua budaya barat mungkin ada baiknya di contoh, memanggil seseorang dengan nama depannya, akan mengurangi efek kesombongan. Penggunaan gelar juga tidak eksesif seperti di Indonesia. Supaya nggak menuding terus, Aq akan bersedia dipanggil nama langsung dan dari dulu sudah berupaya menghindari penulisan gelar kecuali untuk urusan yang sangat memerlukan hal tersebut. Mungkin kalau terbiasa dipanggil, menulis nama sangat lengkap dengan semua pencapaiannya, hasilnya kita akan terbiasa melakukan multi-kotomi terhadap masyarakat. Timbullah pergeseran lapisan masyarakat yang memiliki dampak negatif pada munculnya kesombongan, (harus selalu) dipentingkan, (harus) didahulukan, dan repotnya berimbas kepada pengkultusan.
Kembali ke situasi pengajuan anggaran, aq yakin sekali apabila Unmul mengajukan anggaran 20 M selama 5 tahun untuk alokasi khusus berlangganan jurnal internasional, memiliki koneksi internet yang lebih baik, dan memperbaiki standar kerja lab, maka dengan serta merta politikus berkata anggaran tersebut terlalu besar. Tapi toh, hanya 5/4 dari anggaran untuk membangun lapangan tenis bagi mereka, hanya sekian persen dari membeli mobil dinas baru setiap tahun, dan paling banyak 10% dari dana pemilihan gubernur.
Oo.. pantas saja banjir terjadi dimana-mana, kalau dana penanggulangannya lebih baik dialirkan untuk membangun sarana yang sebenarnya belum perlu.
Oh ya, aq tidak meragukan tingkat pendidikan para pejabat dan wakil rakyat yang di atas rata-rata dari pendidikan masyarakat. Rasa heran muncul karena ketidakpedulian ini selalu terjadi disetiap pergantian pejabat, wakil rakyat, ataupun penguasa di strata apapun.
Pantas saja, dalam sebuah agama dikatakan, di akhir jaman (saat ini) hanya 1 dari 1000 orang yang bisa mendapatkan kebahagiaan sejati..

hmm...

Comments

Popular posts from this blog

Nilai gizi pada jagung dan turunannya

Polemik Nata de Coco Berbahan Baku Pupuk Urea

Urun Rembuk Tentang Pengentasan Stunting