Seri 2: Pangan transgenik

PANGAN TRANSGENIK DALAM DILEMA PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN DAN JAMINAN KEAMANAN PANGAN RAKYAT

Oleh : Anton Rahmadi
ditulis tahun 2000, memenangkan lomba karya tulis tingkat Fakultas.

Sejak dahulu dengan adanya teori bahwa pertumbuhan makanan berkembang menurut deret hitung sedangkan pertumbuhan jumlah penduduk menurut deret ukur, riset-riset terhadap peningkatan produksi pertanian semakin gencar. Dimulai dengan adanya revolusi hijau yang ternyata menyebabkan pencemaran dan ketidakseimbangan zat hara tanah, kemudian berlanjut dengan revolusi biru yang hingga kini masih dalam taraf pengembangan. Pencarian bibit unggul yang merupakan salah satu upaya meningkatkan produksi pertanian, berkembang dari memadukan keunggulan pada antar vaietas dengan mengadakan perkawinan silang hingga mengutak-atik genetik tanaman. Perkembangan ini dimungkinkan karena telah dikuasainya teknologi DNA.

Munculnya istilah transgenik lebih disebabkan oleh telah berhasilnya para ilmuwan negara maju untuk memindahkan DNA penyandi sifat tertentu dari suatu spesies makhluk hidup ke spesies lainnya yang secara taksonomi sangat berbeda. Sebenarnya teknologi perkawinan silang, juga dapat dimasukkan dalam kategori teknologi transgenik namun bersifat konvensional. Pemindahan genetik ini bertujuan untuk menghasilkan tanaman yang “sempurna” yaitu tanaman yang mampu ditanam dalam kondisi ekstrim, tahan penyakit dan gangguan hama, memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi dan lengkap, hingga memiliki umur simpan yang jauh lebih panjang pada teknik penyimpanan minimal.

Di kawasan regional Asia Tenggara, hampir setiap negara pertumbuhan negaranya berbasiskan pertanian, sehingga teknologi transgenik lebih dimaksudkan untuk digunakan pada tanaman dibandingkan untuk hewan. Malaysia sebagai salah satu negara diantaranya, mulai melakukan riset atas tumbuhan transgenik dengan membagi dalam empat bagian, yaitu tanaman pangan, tanaman hias (ornamen), tanaman industri, dan tanaman kehutanan. Hasil implementasi teknologi transgenik oleh Malaysia diantaranya adalah beras, pepaya, nanas, cabai, anggrek dan kelapa sawit. Begitu pula halnya dengan negara produsen beras terbesar di dunia, Thailand, implementasi tanaman transgenik telah diterapkan pada beras, singkong, nanas kaleng, baby corn, tomat, dan tanaman-tanaman ornamen. Bahkan di negara tesebut, telah terbentuk sebuah Pusat Rekayasa Genetik dan Bioteknologi (BIOTEC) yang didukung oleh dana APBN hingga mencapai 0,75 % dari total belanja dalam APBN (Sriwitanapongse, 2000; Low, 2000).

Di satu sisi, pangan transgenik memang membawa keuntungan tetapi juga memiliki kerugian. Namun dengan kecanggihan teknik analisis dan kehati-hatian dalam melakukan eksploitasi terhadap pangan transgenik, kerugian-kerugian tersebut dapat diminimalisasi. Kekhawatiran implementasi terhadap tanaman transgenik lebih ditujukan untuk varietas-varietas yang nantinya akan menjadi pangan konsumsi manusia. Sedangkan spesies yang digunakan untuk industri seperti karet, pulp, dan kapas, perkembangan teknologi transgenik tidak melalui tahap penelitan dampak terhadap lingkungan seketat pada tanaman pangan transgenik.

Contoh kasus yang pernah terjadi di dunia adalah ditemukannya efek yang signifikan terhadap sistem imun tikus yang mengkonsumsi kentang dengan penambahan gen lektin yang berasal dari tumbuhan yang tahan hidup pada kondisi bersalju. Tetapi pada penelitian lebih lanjut dengan mengacu pada aspek statistik, pengujian klinis, psikologi, kandungan nutrisi, analisis kuantitatif gen, dan preparasi sistem imun, efek akibat pemindahan genetik pada kentang tidak terbukti secara nyata. Namun begitu, pro dan kontra terhadap pangan transgenik terus berlanjut. Penelitian yang intensif melahirkan peraturan yang ketat dalam masalah pangan transgenik.

Sebagai gambaran ketatnya penggunaan teknologi pangan transgenik, Departemen Pertanian Thailand menetapkan bahwa analisis resiko dilakukan dalam empat tahap yaitu dalam ruang pertumbuhan sangat tertutup yang jika tahap ini berhasil dilewati maka akan dilanjutkan pada percobaan di rumah kaca yang mampu melindungi keluarnya serbuk sari dari ruangan. Tahap selanjutnya yaitu diujicobakan pada rumah kaca yang tahan serangga, dan akhirnya pada lahan pertanian tertutup. Standar yang ditetapkan oleh lembaga ini adalah Plat Quarantine Act, yaitu semua tumbuhan transgenik dilarang untuk dibawa ke dalam negeri kecuali untuk keperluan penelitian dalam pengawasan dan jaminan dari Departemen Pertanian (DOA, 2000)

Begitu pula halnya dengan negara lain seperti Australia, CSIRO sebagai lembaga representatifnya telah membentuk lembaga Komisi Penasihat tentang Manipulasi Genetik (GMAC) pada tahun 1987, dengan tugas melakukan inovasi, penelitian resiko keamanan biologis, dan memberikan masukan terhadap kebijakan pemerintah. Keseriusan kerja dari lembaga ini telah menghasilkan berbagai ketentuan terhadap pangan transgenik yang saat ini mencapai tahap akhir dalam penentuan regulasi kerangka kerja produk transgenik. Kerangka kerja (framework), merupakan integrasi antara aspek konsumen, kepercayaan terhadap regulasi keamanan, perhatian terhadap lingkungan, komersialisasi, perkembangan industri, dan penggunaan label secara umum (Huppartz, 2000).

Secara garis besar, penerapan pangan transgenik yang berasal dari Australia dan NewZeland harus menaati peraturan yang diterapkan oleh ANZFA (Australia and New Zeland Food Authorities) yang meliputi tiga ketentuan. Ketentuan pertama adalah setiap pangan harus melalui tahap demi tahap analisa resiko, berdasarkan pengujian keamanan. Ketentuan kedua adalah pangan transgenik yang merubah sifat asli dengan penambahan DNA dari spesies lain wajib untuk diberi label. Sedangkan menurut ketentuan ketiga, pangan transgenik yang tidak melibatkan teknologi pemindahan gen atau hanya menggunakan teknologi konvensional seperti kawin silang, tidak memerlukan label khusus dalam pemasarannya. Peraturan ini kemudian diadopsi menjadi peraturan bersama dalam rapat FAO pada tanggal 5 – 10 November 1990 (Van den Eede et al., 2000).

Indonesia sebagai salah satu mantan lima besar pemasok beras dunia, dibandingkan dengan Thailand, ternyata belum tergugah untuk meneliti tanaman transgenik untuk meningkatkan produksi berasnya ataupun produksi tanaman lainnya. Jargon-jargon bahwa Indonesia kaya akan plasma nutfah yang dapat dimanfaatkan untuk penemuan varietas unggul tanaman, ternyata tidak menjadi bekal bagi pemerintah dalam upaya mendongkrak pemasukan negara melalui jalur pertanian, seperti halnya yang dilakukan Thailand dan Malaysia. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh akademisi masih terbilang sangat sedikit akibat keterbatasan dana. Keengganan sponsor swasta maupun pemerintah lebih disebabkan kurangnya perhatian akan pengaruh pangan transgenik terhadap kesehatan sekaligus murahnya biaya impor dibanding produksi pangan nasional. Pengembangan produk pangan transgenik baru-baru ini akan dilakukan oleh Indonesia bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat dengan memanfaatkan plasma nutfah endemik di Indonesia.

Sementara itu, heboh beredarnya produk transgenik hasil impor seperti kedelai dengan tambahan DNA dari Bacillus thuringiensis (dikenal sebagai kedelai Bt), juga belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Regulasi terhadap produk-produk transgenik terutama bidang pangan, baru berdasarkan Undang-undang Pangan no 7 tahun 1996, yang belum ditindak lanjuti dengan mendirikan lembaga riset nasional khusus dalam pengembangan ataupun penelitian resiko terhadap produk transgenik. Berbagai kerancuan ini, yang jika tidak dilakukan pengaturan mulai dari sekarang akan mengakibatkan dampak yang tidak terbayangkan pada kerusakan ekologi, lingkungan, hingga jaminan keamanan pangan nasional.

Solusi dari permasalahan saat ini adalah adanya kerjasama antara akademisi, legislatif, yudukatif, eksekutif dan institusi swasta dalam pengembangan potensi pangan transgenik, menyusun peraturan terhadap pangan transgenik, melakukan penelitian dan pemeriksaan keamanan terhadap produk-produk pangan impor yang dicurigai sebagai pangan transgenik, melakukan penegakan hukum sesuai perundangan yang berlaku, dan melakukan advokasi terhadap konsumen maupun produksen yang memanfaatkan bahan baku pangan yang dicurigai berasal dari hasil teknologi transgenik.

Di dunia, perseteruan negara maju benua Amerika dengan negara-negara Eropa menghasilkan sebuah konklusi untuk beredarnya pangan transgenik tetapi dengan label, sehingga keputusan berada pada tangan konsumen. Persepsi konsumen negara maju terhadap pangan transgenik juga sangat bervariasi karena konsumen diberi informasi terhadap keunggulan pangan transgenik sekaligus juga kerugiannya secara terus-menerus dan berubah dengan cepat. Namun, hal ini tidak bisa diterapkan di Indonesia secara sepenuhnya, karena sebagian besar penduduk Indonesia, tingkat pendidikannya rendah. Oleh karena itu, peran advokasi dan regulasi memegang peranan yang sangat penting dalam memberikan pengertian serta jaminan keamanan bagi konsumen negara ini. Peranan media cetak dan elektronik terhadap pangan transgenik perlu ditingkatkan misalnya dengan penyajian rubrik pendidikan tentang teknologi transgenik, penjelasan rantai makanan, pengaruh makanan terhadap metabolisme tubuh, keamanan pangan, dan labelisasi pangan transgenik. Semoga pemerintah yang menjadi pengambil keputusan negara dapat melakukan inisiasi terhadap peningkatan perhatian akan pentingnya pemanfaatan teknologi pangan transgenik sekaligus peningkatan jaminan keamanan pangan rakyat.

Pustaka

Low, F.C. 2000. Genetically Modified Organisms. J. Singapore Microbiologist, ILSI, Singapore. Vol. Ags – Oct 2000 hal 2-5.

Sriwatanapongse, S. 2000. Genetically Modified Organisms. J. Singapore Microbiologist, ILSI, Singapore. Vol. Ags – Oct 2000 hal 6-7.

DOA. 2000. Genetic Modified Organisms. J. Singapore Microbiologist, ILSI, Singapore. Vol. Ags – Oct 2000 hal 8-9.

Huppartz, J.L. 2000. Safety Assesment Regulations. J. Singapore Microbiologist, ILSI, Singapore. Vol. Ags – Oct 2000 hal 10-11.

Van den Eede, G, M. Lipp, M. Querci, E. Aglen. 2000. The Science of Genetically Modified Organisms, Detection methods and Their Use. J. Singapore Microbiologist, ILSI, Singapore. Vol. Ags – Oct 2000 hal 14-15.

Catatan (untuk menghindari konflik):
Dikarenakan dulu saya termasuk panitia lomba, dan ada peraturan bahwa lomba agar objektif tidak boleh diikuti oleh panitia sekalipun penilaian dilakukan oleh Juri, (dalam hal ini Dr. Ilah dan dosen2 senior di IPB) maka artikel ini diatasnamakan rekan saya, Sari.

Comments

Popular posts from this blog

Nilai gizi pada jagung dan turunannya

Polemik Nata de Coco Berbahan Baku Pupuk Urea

Urun Rembuk Tentang Pengentasan Stunting