Siapa paling diuntungkan dengan Pilgub Kaltim putaran 2?

Tulisan ini sekedar mengingatkan, bahwa dengan semangat "efisiensi" dan "menyelamatkan uang negara", sebenarnya ada potensi bahwa Pemilihan Gubernur putaran kedua di Kaltim tidak perlu dilangsungkan.

Alasan 1:
Saat menyusun rencana pilkada, KPU Kaltim menggunakan UU 32 yang artinya: para calon tidak perlu meninggalkan jabatannya untuk bertarung menjadi Gubernur/Wakil Gubernur. Yang paling penting: persyaratan menangnya salah satu calon pada putaran pertama adalah > 25%. Dengan hasil yang ditetapkan pada putaran pertama, sebenarnya AFI sudah bisa menang walaupun selisihnya hanya 2% kurang, setidaknya suaranya sudah mencapai 28%-an.

Sayangnya KPU kemudian mengganti dasar pelaksanaannya ditengah jalan, yaitu dengan UU 12. Apa yang menjadi pertanyaan? Yang diganti hanyalah dasar penetapan kemenangannya saja (25% di UU 32 versus 30% di UU 12), sementara kewajiban para calon untuk lepas jabatan tidak ditegakkan. Aneh bukan?

Alasan 2:
Setelah dilangsungkan putaran kedua, ternyata AFI tetap menang (refer to: Quick Count Lembaga Survei Indonesia) dengan selisih sekitar 8-10%. Ini sesuai hasil tahap pertama, dimana AFI menang sekitar 2%. Bukankah dengan demikian hasil tahap pertama dan kedua konsisten? Bukankah kita jadi menyelenggarakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu, mengingat perubahan UU yang menjadi dasar penetapan juga sebenarnya dapat digugat secara logis?

Namun, seribu sayang, pengadilan berpikiran lain. Ini tidak aneh, mengingat pengadilan memiliki prosedur lain penegakan keadilan, bukan berdasarkan sensitifitas logis (pemikiran) dan keadilan.

Alasan 3:
Apakah rakyat memang membutuhkan putaran II? Faktanya, dari hasil Quick Count juga, tingkat partisipasi rakyat berada kurang sedikit dari 60%. Golput menanjak dari sekitar 30% di putaran I menjadi sekitar 42% di putaran II. Secara implisit artinya rakyat lelah untuk nyoblos lagi.

Alasan 4:
Potensi balik modal menjadi semakin tinggi. Bukan curiga, bukan menuduh. Sesuai hukum alam, bahwa manusia tidak mau merugi. Sementara masih berada di jabatan, bukankah kemungkinan dana yang dibawah wewenang mereka bisa dilarikan kemana-mana? Perhatikan, apakah tahun depan akan ada ajang mengembalikan modal? Jadi rakyat bisa dirugikan dua kali: menyelenggarakan pilgub putaran kedua akibat KPUD tidak konsisten, sekalipun pengadilan menguatkannya, serta potensi besar "menggembalikan modal" oleh para calon tidak terpilih.

Jadi, dalam demokrasi, siapa sebenarnya yang "menang"?

Comments

Popular posts from this blog

Nilai gizi pada jagung dan turunannya

Polemik Nata de Coco Berbahan Baku Pupuk Urea

Urun Rembuk Tentang Pengentasan Stunting