Ujian Nasional: Sebuah Kebijakan Yang Tidak Bijak
Dikirimkan ke Tribun Kaltim, 17 Juli 2014, cetak 13 Agustus 2014.
Sekedar
menyegarkan ingatan, di tulisan terdahulu, saya membahas bahwa UN tidak akan
pernah ideal apabila proses belajar mengajar di sekolah tidak ideal. Proses
belajar mengajar ini dipengaruhi oleh infrastruktur, guru, kurikulum, buku,
perpustakaan, dan sarana informasi penunjang.
Tulisan kali ini akan lebih membahas proses penilaian rapor sekolah dan
kesenjangan kualitas pengajaran berdasarkan beberapa wawancara dalam kurun
waktu tiga bulan dengan para kepala sekolah dan guru di berbagai wilayah
Kalimantan Timur.
Tulisan tentang UN di Tribun Kaltim, Agustus 2014
Masih tentang UN di Kaltim: Artikel oleh rekan saya: Bapak Achmad Bintoro dari Tribun Kaltim.
Tulisan tentang UN di Tribun Kaltim, April 2014
Tulisan tentang UN di Tribun Kaltim, Agustus 2014
Masih tentang UN di Kaltim: Artikel oleh rekan saya: Bapak Achmad Bintoro dari Tribun Kaltim.
Pengatrolan masal nilai rapor sekolah
Proses penilaian
rapor sekolah diindikasikan turut rusak sebagai ekses negatif dari pelaksanaan
UN. Ini diutarakan oleh seorang staf peneliti bidang edukasi Bappenas, Suharti Sutar, PhD., dalam korespondensi dengan penulis. Maksudnya, nilai-nilai yang didapatkan di kelas,
secara akumulatif disesuaikan dengan prediksi nilai UN untuk mencapai angka
minimal kelulusan. Sebagai contoh, nilai
IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris di rapor sekolah berada pada kisaran angka
7 hingga 9, dengan dominan nilai berada pada angka 8. Sementara, nilai UN murni
dominan berada di kisaran angka 4-6. Apabila nilai ini ditambahkan dengan nilai
UN sesuai proporsi masing-masing, maka nilai yang terdapat pada lembar
kelulusan tentunya lebih dari nilai minimal yang dipersyaratkan.
UN 2014 SMP/MTS Kaltim Bidang Studi Matematika (sumber: analisis Bappenas, unpublished)
Strategi mengatrol
nilai rapor sekolah bukan tanpa risiko.
Siswa yang berprestasi secara akademik dan yang tidak akan susah
dibedakan. Siswa yang berprestasi secara psikologis akan merasa untuk apa
meningkatkan kualitas diri, ternyata teman-temannya mendapat nilai yang relatif
sama. Siswa yang kurang mampu mengikuti pelajaran merasa baik-baik saja, karena
nilai sekolah mereka selalu bagus. Bisa
saja, seorang siswa yang pandai namun berada dalam kondisi tidak menguntungkan
saat UN, sakit misalnya, akan kalah bersaing masuk ke sekolah tujuan, karena
nilai rata-rata kelulusan sedikit di bawah siswa-siswa lain yang tidak perform secara akademik. Sebagai kesimpulan, dikarenakan ketakutan
terhadap pencapaian nilai UN, sekolah-sekolah secara masal melakukan pengaturan
nilai rapor.
Momok UN
harusnya dapat diatasi, semisal melakukan klusterisasi pelaksanaan UN
berdasarkan tingkat deliverance
(penyampaian materi), ketersediaan sarana penunjang, dan indeks pembangunan
manusia (IPM) daerah tersebut. Kerumitan UN salah satunya bersumber dari buku
patokan bahan ajar. Bapak Badaruddin,
seorang kepala sekolah SDN 2 Labangka, PPU dalam diskusi bersama penulis saat
melakukan supervisi mahasiswa KKN ke sekolah tersebut, bertanya-tanya, buku panduan yang mana yang
dijadikan patokan pembuatan soal UN? Dulu, di jaman kurikulum cara belajar
siswa aktif (CBSA), jelas bahwa patokan pembuatan soal EBTANAS adalah buku
terbitan pemerintah melalui Balai Pustaka. Para guru yang mengajar sesuai buku
tersebut merasa yakin bahwa apabila bahan ajar telah tersampaikan, maka para
siswa siap untuk ujian nasional.
UN tidak boleh
didesain secara mendadak hanya untuk membuktikan kepada pihak luar berkaitan
dengan hasil Programme for International
Student Assessment (PISA) terhadap Indonesia yang kurang menyenangkan. Asas
keadilan terhadap siswa harus lebih diutamakan, apalagi bagi mereka yang tidak
memiliki sarana informasi terkini. Ada
baiknya, para peramu soal UN sesekali mengadakan rapat di sebuah desa yang
tidak berakses listrik, telekomunikasi, dan jalan yang baik, sehingga keputusan
yang diambil akan lebih mewakili semua wilayah Indonesia, bukan hanya Jakarta.
Kesenjangan kualitas pengajaran
Kedua, masalah
klasik kesenjangan pengajaran menyebabkan UN tidak tepat sebagai indikator
tunggal penilai akhir kemampuan siswa. Badaruddin
menyatakan bahwa daerah seperti Labangka saja untuk mendapatkan akses berita cetak
harian atau majalah sudah cukup susah, apalagi daerah-daerah lain yang lebih
jauh. Fasilitas dasar yang penulis amati
dari Kutim hingga ke PPU sudah cukup baik. Beruntung mereka yang bersekolah di
Kalimantan Timur, dimana Dinas Pendidikan terkait menyebarkan buku dengan
konsep satu anak satu buku. Dari Bual-bual ke Sepaku, penulis mendapati bahwa
siswa-siswa SD mengaku dapat mempelajari buku di rumah. Ini berarti fasilitas
dasar sudah cukup baik.
Tim KKN di SMP 11 Labangka Barat, Paser Penajam Utara, Juli 2014
UN di tahun
mendatang akan berbasis pada kurikulum 2013. Kurikulum yang mulai diimplementasikan
secara luas ini ternyata tidak hanya menuntut fasilitas dasar. Sarana pendukung
seperti akses informasi yang lebih luas, buku-buku penunjang, hingga bahan atau
alat eksperimen sangat diperlukan agar siswa dapat menunjukkan talenta optimal
mereka. Ada satu cara yang dapat
dilakukan, mengumpulkan harian, majalah, dan buku laik pakai untuk mengisi
perpustakaan-perpustakaan kelurahan, desa, kecamatan, hingga
sekolah-sekolah.
Peningkatan
sarana penunjang ini diharapkan mampu menambah wawasan para siswa secara
signifikan, yang berujung pada pencapaian nilai UN yang lebih baik. Satu temuan menarik yang diamati penulis dari
empat desa di PPU adalah daya serap siswa SD di desa ternyata cukup tinggi.
Dibanding rekan mereka yang di kota, siswa di desa umumnya lebih fokus dan
lebih memiliki waktu luang untuk belajar.
Ini yang harus difasilitasi dengan segera oleh pemerintah.
Tim KKN Desa Tengin Baru, Sepaku, Paser Penajam Utara bersama para anak didik tingkat SD, Juli 2014
Kurikulum yang
tersosialisasi dengan baik, buku yang standar, dan guru-guru yang semakin
terlatih memberikan rasa keadilan terhadap semua anak didik, termasuk terhadap
UN, dimanapun mereka berada di Indonesia ini.
Sebagai bukti, saat menjadi juri di lomba kompetensi siswa SMK se-Propinsi
Kalimantan Timur, penulis mendapatkan bahwa siswa asal Desa Bukit Raya, Sepaku
mampu bersaing dan menjadi juara tiga dengan perolehan yang sangat tipis di
bawah siswa asal Bontang dan Tanah Grogot.
Ini berarti, sekalipun siswa yang bertinggal di daerah yang cukup jauh
dari kota, kapasitas intelektual mereka mampu menyaingi teman-teman sebaya di
kota.
Indikasi kecurangan masal pelaksanaan UN
Ekses yang terakhir dari kekacauan sistem pendidikan sebagai kontribusi dari UN adalah konspirasi masal yang penulis indikasikan dari laporan kelulusan siswa dilihat dari dua skema, berdasarkan UN murni dan berdasarkan UN ditambah nilai sekolah. Kalimantan Timur termasuk propinsi yang berada di bawah rata-rata nasional 56% untuk tingkat kelulusan murni berdasarkan UN. Disatu sisi ini berarti pencapaian masih harus ditingkatkan, di sisi lain kecurangan terhadap UN relatif terkendali dibandingkan beberapa propinsi di kawasan timur Indonesia. Sebuah propinsi di Papua misalnya, tingkat kelulusan murni berdasarkan UN berada di peringkat dua nasional di bawah DKI Jakarta.
Penulis
menganggap bahwa kecurangan masal bukan dilakukan sebagai upaya mengangkangi
kebijakan pendidikan nasional, akan tetapi lebih sebagai keterpaksaan atau survival behaviour dari para pelaku
pendidikan di wilayah yang kurang beruntung.
Harus diakui, bila Indonesia yang tersebar dari daerah metropolitan
hingga desa dengan akses sangat terbatas tidak bisa menganut single policy ujian akhir dengan pola UN
yang sekarang. Pendidikan seyogyanya
tidak berbicara memenangkan populasi yang lebih besar, melainkan juga mengayomi
kolega-kolega setanah air yang bertinggal di daerah terpencil, terluar, dan
terbelakang.
Para Peserta UN SMK Muhammadiyah 1 Kecamatan Sangkulirang, Kutai Timur, April 2014
Indikator
kecurangan masal sebenarnya mudah dilihat berdasarkan inferensi dari data
demografi lainnya, semisal IPM dan kesenjangan. Penanggulangan akan kecurangan
di dalam UN bisa dilakukan secara represif, namun menjadi tidak bijak.
Pendekatan yang sebaiknya dilakukan adalah melakukan klusterisasi pendidikan
dan memperlakukan tiap-tiap kluster sesuai kebutuhan dan pencapaian pendidikan
masing-masing. Keseragaman pendidikan
harus diakui masih menjadi kondisi utopis yang tidak boleh digeneralisir dengan
pendekatan UN.
Kesimpulan
Dari ketiga
pokok bahasan, didapatkan sebuah benang merah, bahwa kebijakan UN sebaiknya
menganut sistem klusterisasi dengan mempertimbangkan aspek infrastruktur, ketersediaan
sarana penunjang, sosialisasi dan pelatihan guru untuk kurikulum yang akan
diujikan. Kebijakan UN secara garis besar harus mengakui keragaman kemajuan
Indonesia, sehingga penyelenggaraan UN lebih berkeadilan. Harapan kepada
pemimpin bangsa lima tahun mendatang adalah kebijakan pendidikan yang lebih
humanis dan mengayomi seluruh rakyat Indonesia, sebagai perwujudan Bhinneka
Tunggal Ika.
* Tulisan ini merupakan rangkuman pengamatan
lapangan dari berbagai kegiatan seperti Pelaksanaan UN SMA/SMK/Paket-C tahun
2014, Penjurian Lomba Kompetensi Siswa SMK se Kalimantan Timur 2014, Supervisi
KKN Program Unggulan Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2014, dan korespondensi pribadi dengan berbagai sumber.
Tulisan dalam format lain: PDF
Tulisan dalam format lain: PDF
Comments