Polemik Nata de Coco Berbahan Baku Pupuk Urea
Kasus keamanan pangan di tahun 2015
rupanya marak diangkat. Di awal tahun
terdengar tentang saos tomat yang bukan berasal dari tomat, bakso sapi dicampur
celeng, dan sebagainya. Baru-baru ini mencuat kasus nata de coco berbahan baku pupuk urea.
Nata de coco dan sejenisnya merupakan makanan yang populer di masyarakat, utamanya
di bulan puasa, dimana nata biasanya
menjadi konsumsi harian berbuka puasa. Apa sebenarnya nata?
Nata secara ilmiah adalah cellulosic
exopolysaccharide acetan atau serat selulosa yang diproduksi oleh kelompok
bakteria penghasil enzim ekstraseluler, misalnya yang populer Acetobacter (Gluconobacter) xylinum,
yang ramai diberitakan saat ini.
Industri nata de coco. Gambar: http://natadecoco.com.my/images/ndc_footer1.jpg
Bakteri penghasil selulosa
ditumbuhkan pada substrat yang mengandung nutrisi kaya akan gula (glukosa),
nitrogen, fosfat dan sulfur.
Komponen-komponen nutrisi ini umumnya ditemukan di jus buah-buahan
maupun air kelapa. Secara tradisional nata
de coco, berarti nata dari air kelapa, adalah makanan tradisional asal
Filipina yang kemudian popular di seluruh dunia. Riset seputar pengembangan
bakteri Acetobacter xylinum dalam
produksi nata de coco dapat
dikilasbalik hingga tahun 1954 oleh Schramm dan Hestrin.
Ramai
diberitakan tentang penggunaan pupuk ZA atau dikenal dengan urea sebagai salah
satu substrat pembuatan nata de coco.
Ini menimbulkan kontroversi, tidak hanya di masyarakat awam, tetapi juga di
kalangan ahli pangan (food technologists). Gampangnya, pupuk
sebenarnya dilarang karena tidak aman (bukan food
grade), akan tetapi proses lanjutan pembuatan nata sangat memungkinkan substrat tersisa (apabila ada) dan impurity (ketidakmurnian) akan terbuang
dengan pencucian berulang.
Perlu diingat komposisi utama pupuk urea amino methanamida (CH4N2O) dan pupuk ZA adalah ammonium
sulfat ((NH4)2SO4), keduanya dapat digunakan sebagai sumber N, namun yang lebih populer adalah pupuk ZA. Secara
komersial, ammonium sulfat tersebut tersedia dalam dua kategori: untuk makanan (food grade) dan bukan untuk makanan (non food grade). Yang food
grade berstatus generally recognized as safe (GRAS) dalam batasan tertentu,
yang non food grade tentu saja tidak
boleh dipakai dalam makanan. Permasalahannya
adalah, ammonium sulfat dalam bentuk pupuk ini murah dan banyak tersedia.
Apa itu
bahan kimia food grade ? Menurut
ScienceCompany, bahan kimia dapat digolongkan sebagai food grade adalah yang
minimal sudah memiliki spesifikasi layak konsumsi sebagaimana ditentukan secara
global oleh United States Pharmacopeia (USP) dan National Formulary (USP-NF).
Dibawah kategori ini adalah untuk penggunaan laboratorium non makanan dan
teknis, seperti pupuk dan industri non-makanan.Tambahan: untuk lebih mengenal grading suatu bahan kimia, dapat klik disini.
Salah satu standar yang digunakan untuk bahan baku makanan adalah standar FCC (food chemical codex). FCC untuk ammonium sulfat yang boleh digunakan sebagai bahan pangan adalah tidak boleh mengandung logam berat yang terdiri dari arsenik lebih dari 0.5 ppm, besi 15 ppm, dan selenium 5 ppm.
Mari dibandingkan dengan pupuk urea dan ZA. Untuk pupuk urea (standar US 756:2007), kandaungan biuret, atau bahan pestisida golongan kolinesterase, adalah 1,5%, logam berat yang terdiri dari arsenik 20 ppm, atau 40x lebih tinggi dari FCC (food) grade, kadmium 7 ppm, merkuri 0.1 ppm, selenium 1 ppm, timbal 30 ppm, dan kromium 500 ppm. Berdasarkan standar US 757:2007, kandungan logam berat pada pupuk ZA terdiri dari 50ppm arsenik, atau sekitar 100x lebih tinggi dari FCC (food) grade, timbal 30 ppm, atau sekitar 10x lebih tinggi dari FCC (food) grade, merkuri 5 ppm, kromium 150 ppm, dan kolbalt 100 ppm. Tiga logam berat terakhir seharusnya tidak terdeteksi di standar FCC (food) grade.
Standar
produk nata de coco sebenarnya sudah
ditetapkan Pemerintah melalui SNI nomor 01-4317-1996, dimana produk akhir tidak
diperkenankan mengandung bahan asing.
Yang dimaksud bahan asing disini sepertinya lebih ke arah cemaran kasat
mata seperti debu, potongan kayu, serangga, dsb. Akan tetapi, trace element yang diakibatkan impuritas substrat belum menjadi fokus dari standar
produk nata de coco.
Kalau
boleh disebutkan, insiden penggerebekan UKM produsen nata de coco beberapa waktu
silam berada dalam "grey area",
maksudnya tidak diatur secara hitam dan putih secara cukup gamblang. Ini adalah buah simalakama bagi regulator.
Sebabnya, penggunaan urea yang sangat populer, bukan hanya di tingkat UKM,
tetapi juga seakan menjadi standar de
facto proses pembuatan nata di
berbagai skripsi. Akan tetapi bila
dikaji lebih lanjut, penggunaan pupuk urea sebagai substrat nata ternyata memiliki beberapa unsur
risiko.
Risiko nata berbahan baku
pupuk
Risiko pertama adalah ancaman penggunaan urea atau ZA sebagai substrat yang bukan
berkualifikasi untuk
makanan (non-food grade) tetap ada. Pupuk urea menurut EPA, memiliki
dosis berbahaya (toxicity
dos) yang cukup tinggi. Efek
dari terkonsumsinya urea adalah muntah-muntah, iritasi, dan mual-mual. Akan tetapi, keberadaan urea di produk akhir
adalah sangat debatable. Seharusnya, urea tidak terdapat dalam produk nata de coco, karena urea dimanfaatkan
bakteria sebagai sumber nitrogen. Kalaupun bersisa, urea akan
sangat mungkin terbuang dengan proses pencucian berulang. Tapi, disini kita bicara
tentang UKM yang standar produksinya tidak sebaik industri, sehingga kemungkinan
trace urea dalam produk akhir tetap
ada.
Impurity atau ketidakmurnian dari pupuk ZA/urea biasanya mengandung bahan kimia berbahaya seperti
biuret (alofanamida) yang bersifat karsinogenik. Biuret dapat ditemukan dalam bentuk
karbamat, karbamida, ataupun karbamoyl yang merupakan komponen pestisida dari
golongan kolinesterase. Bila terkontaminasi dalam jumlah cukup, biuret dapat menyebabkan
keracunan. Menurut laporan, biuret dapat menginduksi kanker di dalam tubuh manusia
dalam dosisi yang cukup kecil. Sekali lagi, tulisan
kali ini adalah membahas risiko. Prinsip risiko secara umum merupakan perkalian
dari likelihood (kemungkinan terjadi) dan severity (kefatalan akibat). Tentunya diperlukan hasil lab yang
mumpuni terhadap kemungkinan keberadaan biuret dalam produk akhir nata de coco, sementara untuk tingkat
kefatalan menurut beberapa situs, berada pada level tiga, sebagai irritant, atau senyawa penyebab iritasi.
Sebagai informasi tambahan, berdasarkan komunikasi terbatas di grup Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, Dr Roy Sparringa, tanggal 3 April 2015, mengatakan bahwa penggunaan pupuk dalam pembuatan nata de coco seharusnya tidak dapat ditolelir, mengingat pupuk ZA atau urea tersebut dapat saja terkontaminasi logam berat. Berdasarkan penelusuran pustaka, kontaminasi logam berat dibuktikan dari beberapa penelitian, diantaranya Luo (tanpa tahun), Meerkotter (2012), dan Gimeno-Garcia (1996). akan tetapi, seberapa konsentrasi kontaminan logam berat dalam nata de coco yang terkena kasus hukum masih harus dibuktikan di laboratorium.
Secara kasar, berdasarkan berita, pupuk ZA ditambahkan 300 g dalam setiap 100 liter air kelapa, artinya konsentrasi pupuk terhadap media adalah 0.3%. Hasil yang diharapkan secara umum berkisar 20 kg nata de coco. Dengan asumsi 100% pupuk dikonversi dan terikat di produk nata dan sesuai standar US 757:2007 bahwa pupuk ZA mengandung 50 ppm arsenik didapatkan kadar arsenik dalam nata maksimum 750 ppb. Disini peranan pencucian berulang dan fakta bahwa logam berat cenderung berada pada bagian terlarut dari media belum diperhitungkan. Logam-logam berat yang lain belum diperhitungkan.
Menurut aturan SNI 7387:2009, kadar maksimal cemaran logam berat dalam produk sejenis nata de coco adalah 0.5 mg/kg, atau berkisar 500 ppb untuk arsenik dan timbal. Berdasarkan hitungan sebelumnya, dengan asumsi 100% arsenik dari pupuk terikat di produk nata, maka pupuk ZA tidak layak untuk dijadikan sebagai sumber N dalam proses pembuatan nata de coco. Kembali, angka-angka ini harus diverifikasi pada nata de coco hasil sampling, sehingga diperoleh besaran cemaran logam berat dan residu pestisida dari produk dimaksud.
Sebagai informasi tambahan, berdasarkan komunikasi terbatas di grup Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, Dr Roy Sparringa, tanggal 3 April 2015, mengatakan bahwa penggunaan pupuk dalam pembuatan nata de coco seharusnya tidak dapat ditolelir, mengingat pupuk ZA atau urea tersebut dapat saja terkontaminasi logam berat. Berdasarkan penelusuran pustaka, kontaminasi logam berat dibuktikan dari beberapa penelitian, diantaranya Luo (tanpa tahun), Meerkotter (2012), dan Gimeno-Garcia (1996). akan tetapi, seberapa konsentrasi kontaminan logam berat dalam nata de coco yang terkena kasus hukum masih harus dibuktikan di laboratorium.
Secara kasar, berdasarkan berita, pupuk ZA ditambahkan 300 g dalam setiap 100 liter air kelapa, artinya konsentrasi pupuk terhadap media adalah 0.3%. Hasil yang diharapkan secara umum berkisar 20 kg nata de coco. Dengan asumsi 100% pupuk dikonversi dan terikat di produk nata dan sesuai standar US 757:2007 bahwa pupuk ZA mengandung 50 ppm arsenik didapatkan kadar arsenik dalam nata maksimum 750 ppb. Disini peranan pencucian berulang dan fakta bahwa logam berat cenderung berada pada bagian terlarut dari media belum diperhitungkan. Logam-logam berat yang lain belum diperhitungkan.
Menurut aturan SNI 7387:2009, kadar maksimal cemaran logam berat dalam produk sejenis nata de coco adalah 0.5 mg/kg, atau berkisar 500 ppb untuk arsenik dan timbal. Berdasarkan hitungan sebelumnya, dengan asumsi 100% arsenik dari pupuk terikat di produk nata, maka pupuk ZA tidak layak untuk dijadikan sebagai sumber N dalam proses pembuatan nata de coco. Kembali, angka-angka ini harus diverifikasi pada nata de coco hasil sampling, sehingga diperoleh besaran cemaran logam berat dan residu pestisida dari produk dimaksud.
Ketiga, di tingkat UKM, yang perlu
lebih diperhatikan adalah proses pembuatan nata yang
kurang baik. Termasuk di
dalamnya adalah pencampuran urea secara asal, semisal konsentrasi
berlebihan, dan kurang higienis. Proses fermentasi yang kurang higienis akan
meningkatkan risiko pertumbuhan cyanobacteria,
bakteri kontaminan umum, yang dapat menghasilkan neurotoxin.
Keempat, Pak Adhi Lukman, Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia menyampaikan bahwa penggunaan air kelapa sebagai substrat nata de coco akan membawa permasalahan tersendiri. Produk yang dihasilkan cenderung opak dan kekuningan, sehingga banyak UKM menggunakan bleach/pemutih agar produk terlihat lebih menarik. Penggunaan bahan pemutih ini menjadi masalah tersendiri terkait keamanan pangannya. Nata de coco yang berkualitas bisa didapat dari bahan baku santan dengan bahan penolong sumber N yang bersertifikasi food grade. Sedapat mungkin residu bahan kimia minim, apalagi kualitas yang diharapkan adalah ekspor.
Kalau
kembali ke aturan BPOM
secara ketat, argumentasi penggunaan pupuk dalam proses pembuatan nata de coco ini rasanya cukup jelas.
Cara produksi pangan yang baik (CPPB) yang diajarkan di berbagai jurusan
teknologi hasil pertanian atau teknologi pangan adalah sedapat mungkin
menghindari penggunaan bahan bukan berkualifikasi makanan (non food grade). Pupuk jelas bukan bahan makanan
manusia.
Langkah perbaikan
Berkaitan dengan kandungan logam berat pada pupuk yang jauh lebih tinggi dibandingkan standar FCC grade, diperlukan analisis risiko yang lebih dalam. Menurut Prof. Dedi Fardiaz (IPB, mantan ketua PATPI) dan Prof Ratih Dewanti-Hariyadi (ahli keamanan pangan IPB), langkah selanjutnya adalah dilakukan risk assessment untuk
menentukan exposure dari tiap-tiap logam berat dimaksud. Tujuan dari
proses ini adalah menentukan apakah nata de coco ternyata mengandung
logam berat melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah melalui SNI
produk nata. Lebih lanjut, Prof Ratih Dewanti-Hariyadi mengusulkan
adanya panduan proses pembuatan nata yang direkomendasikan, sehingga
kejadian seperti ini tidak menimbulkan polemik yang membingungkan,
termasuk bagi kalangan UKM.
Standar kualitas hidup terus berkembang, apa yang menjadi hal yang lumrah di masa lalu, boleh jadi baru diketahui berbahaya saat ini. Sebagai sebuah solusi adalah penyediaan substrat kaya nitrogen yang murah bagi UKM penghasil nata. Jika jeli, ini menjadi bisnis baru yang menggiurkan. Mengembangkan khamir Saccharomyces cerevisiae, atau dikenal sebagai ragi roti, dalam jumlah banyak lalu dibuat menjadi ekstrak adalah salah satu bisnis yang mudah dilakukan dan memiliki potensi pasar yang tinggi. Otomatis akan tumbuh UKM industri hulu baru: industri ingredient.
Standar kualitas hidup terus berkembang, apa yang menjadi hal yang lumrah di masa lalu, boleh jadi baru diketahui berbahaya saat ini. Sebagai sebuah solusi adalah penyediaan substrat kaya nitrogen yang murah bagi UKM penghasil nata. Jika jeli, ini menjadi bisnis baru yang menggiurkan. Mengembangkan khamir Saccharomyces cerevisiae, atau dikenal sebagai ragi roti, dalam jumlah banyak lalu dibuat menjadi ekstrak adalah salah satu bisnis yang mudah dilakukan dan memiliki potensi pasar yang tinggi. Otomatis akan tumbuh UKM industri hulu baru: industri ingredient.
Berkaitan dengan kasus nata de coco dari pupuk ZA ini, setelah melalui dialog yang panjang dan melibatkan banyak pihak dari Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, maka dapat diambil kesimpulan: (1) agar sedapat mungkin menghindari penggunaan bahan non food grade, salah satu sebabnya adalah kadar ketidakmurnian yang tinggi, misalnya pada kandungan logam berat yang jauh lebih tinggi di bahan-bahan non food grade tersebut; (2) pencucian berulang dalam proses produksi nata de coco adalah titik kritis keamanan pangan, dimana boleh jadi komponen-komponen berbahaya seperti logam berat dan residu pestisida akan leech/larut ke air pencuci; (3) direkomendasikan untuk mengukur kadar logam berat pada produk yang saat ini menghadapi kasus hukum, sebelum ditentukan status keamanan dari produk tersebut.
Lebih
lanjut, sebagai saran kepada regulator dan akademisi, ada baiknya memang perlu
mengganti pupuk urea/ZA dengan bahan lain yang mudah didapat masyarakat maupun ZA yang food grade. Tujuannya agar mudah membedakan, diperlukan substrat kaya akan N dari sumber lain. Kejadian saat
ini lebih berimplikasi pada ekonomi rakyat, dimana regulator belum akan secara
ketat langsung melarang tanpa adanya solusi. Tapi, disisi lain, regulator tidak
mungkin juga membiarkan kalau risiko dari urea,
biuret, dan kontaminan, yang
ternyata cukup tinggi. Ekonomi masyarakat harus didorong,
dengan cara yang semakin baik. Kasus nata de coco memang contoh yang sangat menarik, ya!
Referensi:
- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1269899/pdf/biochemj01080-0172.pdf
- http://www.epa.gov/iris/toxreviews/1022tr.pdf
- http://www.chemicalland21.com/indust.../inorganic/BIURET.htm
- http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9927459
- http://mic.sgmjournals.org/content/11/1/123.full.pdf
- http://etd.uwc.ac.za/xmlui/bitstream/handle/11394/1721/Meerkotter_PHD_2012.pdf?sequence=1
- http://www.niaes.affrc.go.jp/marco/marco2009/english/program/S-1_LuoYM.pdf
- http://link.springer.com/chapter/10.1007/978-94-009-1586-2_85
- https://law.resource.org/pub/ug/ibr/us.756.2007.pdf
- https://law.resource.org/pub/ug/ibr/us.757.2007.pdf
- http://www.gacchemical.com/feed.php?num=&news_id=77&feed_id=
Comments