Tantangan Implementasi Kurikulum 2013 di Daerah
Dikirimkan ke Tribun Kaltim 13 September 2014
Ibarat manusia, kurikulum 2013 adalah bayi yang
baru lahir. Kurikulum ini secara politik
mendapatkan tantangan pergantian kepemimpinan, selain secara teknis masih
sangat perlu untuk ditingkatkan implementasinya. Indonesia adalah Negara
agraris sekaligus maritim yang sangat luas, dengan kesenjangan perkembangan antar
daerah yang sangat besar. Tulisan kali ini memfokuskan pada penerapan kurikulum
2013 yang terkesan dipaksakan tahun lalu dan saat ini mendapat tantangan berat
utamanya di daerah-daerah yang sulit terjangkau dan terbatas secara sumber daya
manusia.
Tantangan Pelaksanaan Kurikulum 2013
Penulis pernah menyampaikan dalam Kongres Pelajar
Indonesia di Melbourne, Australia, tahun 2010, tentang tahapan dalam penerapan
sebuah kebijakan nasional seperti kurikulum 2013. Tahap pertama adalah tahun
sosialisasi yang seharusnya masa ini sudah ditempuh di tahun 2013. Tahap kedua
adalah proses transfer pengetahuan para guru yang secara masif baru dilakukan di tahun 2014.
Penerapan kurikulum kepada siswa sendiri baru dapat dilakukan setelah
kedua tahap awal tersebut selesai, ini dimulai di semester kedua tahun
2014.
Beberapa waktu lalu, saya berjumpa dengan Bapak Papunai
Makasau, seorang PNS guru SD purna tugas yang mengabdikan diri menjadi seorang
kepala SD milik sebuah perkebunan sawit di Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau.
Jumlah murid yang menjadi tanggung jawab Beliau sekitar 179 orang yang terdiri
dari kelas 1 hingga 5. Umumnya, para murid berasal dari anak-anak para pekerja
perkebunan.
Terdapat delapan guru yang diberikan gaji oleh
perusahaan sawit dengan rasio satu guru untuk 23 orang. Sisi positif sekolah
swasta milik perkebunan ini adalah guru-guru yang direkrut secara sumber daya sudah
cukup baik karena berlatar belakang sarjana kependidikan. Alumni program
kependidikan di daerah seperti dari Universitas Mulawarman ada yang menjadi
guru di tempat ini dengan kualitas individual yang dapat bersaing. Dari sisi remunerasi,
guru-guru yang bekerja di perusahaan perkebunan memperoleh pendapatan yang sedikit
lebih layak dibandingkan PNS guru.
Ada dua masalah terkait guru seperti yang disampaikan
sang kepala sekolah, yaitu sertifikasi dan SDM guru yang kurang. Mereka yang
sudah mengabdi lebih dari lima tahun rata-rata belum tersentuh program
sertifikasi guru. Sementara itu,
kesusahan mencari sumber daya guru berkaitan dengan kesungkanan penempatan di
perusahaan. Calon guru banyak yang lebih memilih untuk menjadi PNS guru.
Kurikulum 2013 diterapkan mulai tahun ini,
langsung di semua kelas, kecuali kelas 3 dan 6 untuk sekolah dasar. Proses
penerapan kurikulum dilakukan setelah para guru mendapatkan diklat sekitar
tujuh hari di ibukota kabupaten yang berjarak lima jam perjalanan atau 12 jam
dari ibukota propinsi dengan mencarter kendaraan seharga 1,6 juta rupiah untuk
pulang dan pergi. Hal yang dikeluhkan berkaitan
pelaksanaan kurikulum 2013 adalah kekurangan bahan ajar berupa buku paket
tercetak. Kekurangan ini dicoba disiasati dengan mencetak sendiri buku online dari Kemendikbud. Akan tetapi, proses pengunduhan buku sendiri
tidak dapat dilakukan di lokasi, karena akses internet yang sangat terbatas.
Untuk itu, mereka harus berangkat ke ibukota kabupaten sebelum dapat
menggandakan berkas elektronik dari buku-buku dimaksud.
Dari SD ke SMK
Ketidaktersediaan buku ajar yang tercetak rupanya
kronis. Ini didapat penulis saat berjumpa dengan beberapa guru SMK 2 dan 3 di Tanah
Grogot, Kabupaten Paser. Mereka mengungkapkan bahwa kurikulum 2013 belum siap
secara bahan ajar tercetak, utamanya untuk buku-buku di mata pelajaran
produktif. Padahal, salah satu yang
membedakan SMA dan SMK adalah mata pelajaran produktif yang dulunya mengambil porsi
45-50% dari total jam pengajaran. Proporsi mata pelajaran produktif malah menjadi
turun dari tadinya 18 jam menjadi 14 jam.
Proporsi pelajaran di beberapa bidang keahlian
menjadi agak rancu, semisal bidang pertanian justru lebih banyak mempelajari
aspek IPS/ekonomi dibandingkan natural sains. Lebih serius lagi adalah proporsi
jam pelajaran Bahasa Inggris di beberapa bidang kejuruan turun dari 4 jam menjadi
2 jam. Hal ini menjadi pertanyaan,
apakah memang desainer kurikulum peka akan tantangan yang akan dihadapi para
anak didik di era Masyarakat Ekonomi Asia 2015?
Format pengajaran yang kaku juga menjadi sasaran
kritik dalam implementasi kurikulum 2013, dimana para guru akan cenderung
terpaku memenuhi RPP dibandingkan memberikan ilmu itu sendiri. Ini akan menjadi
lebih rancu apabila diterapkan di SMK dengan keahlian tertentu seperti otomotif
dan pertanian. Sebagai contoh, desain RPP yang cenderung dipukul
rata seakan pelajaran semuanya berada dalam kelas akan menyebabkan pembelajaran
cenderung seragam, sukar diterapkan di lapangan, dan tidak bisa disesuaikan
dengan kecepatan penerimaan masing-masing individu siswa.
Perubahan besar yang dibawa kurikulum 2013 juga
menyangkut format ujian, dimana para guru terlihat berkeberatan dengan sistem
penilaian yang cenderung seragam. Ruang kreasi guru yang tadinya diberikan
cukup banyak di kurikulum KTSP seakan diganggu dengan adanya kurikulum 2013.
Deskriptor kesuksesan kurikulum 2013
Dari berbagai observasi yang penulis lakukan,
dapat dirangkum beberapa deskriptor penunjang pelaksanaan kurikulum 2013 yang
terdiri dari kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan. Dari sisi kekuatan,
deskriptornya adalah jumlah siswa dengan tingkat intelektual dan asupan gizi
cukup. Kelemahan implementasi kurikulum 2013 saat ini terletak pada
infrastruktur laboratorium, jumlah guru yang sesuai dengan bidang pengajaran,
dan ketersediaan buku ajar utama dan penunjang berbahasa Indonesia. Peluang pelaksanaan kurikulum 2013 secara
lebih baik akan dipengaruhi oleh kesadaran akan ketertinggalan terhadap
teknologi informasi di daerah-daerah, jumlah siswa yang dapat bersekolah, dan
adanya komunitas-komunitas peduli akan pendidikan di tiap-tiap daerah. Sebagai
tantangan, penulis menganggap bahwa infrastruktur fisik berupa akses jalan,
ketersediaan listrik, telepon, dan internet merupakan tantangan utama. Selain
itu, penyebaran guru di daerah dan tingkat pemerataan kemampuan terhadap TI
dari siswa menjadi tantangan lain dalam penerapan kurikulum 2013.
Tabel deskriptor kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan terhadap pelaksanaan kurikulum 2013
Ada satu pertanyaan menarik, mengapa TI menjadi
penting dalam implementasi kurikulum 2013?
Tidak lain karena sebagian besar bahan ajar baru tersedia secara
elektronik. Selain itu, kurikulum 2013 memerlukan upaya yang lebih baik dan
kreatif dari para siswa untuk mengeksplorasi sendiri pengetahuan-pengetahuan
baru yang diperoleh di sekolah. Agar dapat kreatif, dibutuhkan media-media
cetak penunjang seperti surat kabar, majalah, bacaan anak, yang semuanya cukup
sulit ditemui di lingkungan yang jauh dari perkotaan.
Penutup
Sebagai penutup, tentunya penulis berharap bahwa
pelaksanaan kurikulum 2013 dapat disempurnakan. Berbagai hal yang terlihat
janggal sebaiknya segera dirombak seperti turunnya jam pelajaran untuk Bahasa
Inggris, turunnya alokasi jam pelajaran produktif. Buku cetak tetap merupakan
sarana belajar utama yang harus dipenuhi, mengingat tidak semua wilayah
Indonesia memiliki akses listrik apalagi internet yang memadai. Diharapkan
kurikulum 2013 tidak mengalami perombakan yang radikal di pemerintahan yang
baru ini, melainkan penyempurnaan-penyempurnaan hasil evaluasi dari kurikulum
sebelumnya.
Pemandangan Desa Labuan Cermin, Kabupaten Berau. Dapat ditempuh 15 jam perjalanan dari ibukota Kaltim, Samarinda.
Comments