Seberapa bersih makanan kita

If Americans are questioning about the safety of their food, we, who live in developing country are facing endless threat for non-food-grade chemical adulteration in our daily foods.

Keamanan pangan, food safety, kembali hangat di Amerika Serikat setelah sebuah perusahaan selai kacang diduga secara sengaja membiarkan produknya yang tercemar beredar di pasaran. FDA (ekivalen Balai POM) digugat habis-habisan karena tidak mampu memberikan jaminan perlindungan terhadap rakyat Amerika dalam kasus ini.

Berkaca dari cerita ini, saya punya kisah unik. Kemarin, 15 Feb 2009, saya bertemu teman lama, seorang kakak kelas yang sekarang duduk sebagai anggota DPRD Samarinda (dan katanya nyaleg lagi untuk DPRD Kaltim). Dalam oborolan yang ngalor-ngidul seputar Perda, akhirnya tersenggol pula topik rokok, miras, dan makanan halal.
Dari obrolan singkat, diantaranya teman saya ini menyampaikan keluhan pedagang kecil yang ingin melakukan proses sertifikasi halal tetapi prosesnya panjang dan rumit. Saya bilang, rumitnya adalah karena kita mengutamakan 'thayyib' baru 'halal'. Saya sampaikan, sebenarnya problemnya adalah payung hukum proses halal itu ada diposisi terakhir, setelah perizinan, sertifikasi kesehatan, sertifikasi kebersihan dipenuhi.

Tapi saya mau membahas tentang kelanjutan ceritanya, seputar makanan. Saya sampaikan, kita perlu memperhatikan jajanan yang dipinggir-pinggir jalan ini. Sambil mengutip senjata pamungkas, 90% penyakit disebabkan makanan, maka perhatian kita terhadap pangan harus sangat, sangat besar. Saos mengemuka dalam perbincangan tersebut. Secara jujur, rekan saya ini mengatakan saat ia sakit perut, jarang sekali ia mengaitkannya dengan makanan yang dimakan. Padahal sangat besar kemungkinan terjadinya 'food poisoning' disana.

Lebih parahnya, sepertinya ketertarikan legislatif dan eksekutif terhadap perlindungan konsumen sebatas memperhatikan akibat yang ditimbulkan (asuransi bagi masyarakat miskin karena sakit dsb). Seandainya ada upaya mencerdaskan bangsa dan meningkatkan kepedulian terhadap sanitasi dan kebersihan makanan di masyarakat, mungkin tingkat sakit-nya masyarakat bisa kita tekan.
Produktivitas meningkat, masa harapan hidup meningkat, kesehatan masyarakat lebih baik, dan 'government spending on something that can be prevented' menurun.

Sambil bergurau, saya berkata: saya ingin buat artikel opini tentang 10 alasan mengapa kampanye tidak boleh menggunakan permen.... :))

Kembali ke negara maju. Di editorial NYT (yang saya referensikan di atas), masyarakat Amerika terperangah terhadap fakta: kontaminasi-kontaminasi yang tidak dapat dihindarkan, seperti telur lalat, rambut tikus, potongan serangga, hidden infestation, dan sebagainya.

Mengajak masyarakat Indonesia untuk berfikir yang sama, saya rasa membutuhkan waktu 1-2 generasi lagi. Saat ini, food for survive (sembako murah) sepertinya menjadi topik yang lebih mengemuka.

Comments

Popular posts from this blog

Nilai gizi pada jagung dan turunannya

Polemik Nata de Coco Berbahan Baku Pupuk Urea

Urun Rembuk Tentang Pengentasan Stunting